Rabu, 24 Februari 2016

Cerpen Perdana



Cinta yang tak Terjawab

                                                                                                               Karya: s@e















Diriku terhentak kaget tertumpu pada seorang lelaki yang begitu melekat di hatiku yang telah menaklukan hatiku yang pertama kali. Kali ini setelah tiga tahun, dia lewat dengan tiba-tiba. Begitu aku menyesal. Pernah aku bekukan hubunganku dengan dia hanya sekadar sepele.
Diam-diam dari keluargaku aku mengejar dia, tetapi hatiku terbendung karena di sampingnya ada orang tuanya. Ingin aku bicara empat mata dengan dia seperti dulu di tempat ini. Aku malu ada orang tuanya. Takut aku disalahkan oleh orang tuanya karena aku duluan yang menjauh darinya. Akan tetapi, kusadari aku takut kehilangan dia. Aku terdiam sambil menyusup tertutup kerumunan orang banyak. Hatiku tak sabar dia terburu jauh. Kupaksa beranikan diri kejar dia.
Air mataku mengalir deras. Aku tak terasa, memang tak bisa dibohongi hatiku makin terjepit pedih. Tahu-tahu dia sudah masuk mobil pulang bersama keluarga.
“La, kemana kamu tadi?” tanya ayah.
“Tadi ada teman, tapi dia sudah pergi,” Sahutku.
“Kenapa matamu merah, Laela?” celetuk ibuku.
“ Oh, iya bu. Aku kena debu,” balasku.
Ibu penasaran, “Kok, malah menangis, La?”
Aku hanya bungkam, air mata makin deras saja. Kututup mukaku dengan jaketku.
“Teh, ini ada tisu,” adikku menawarkan jasa.
Langsung saja kucabut dan kuseka air mata.
“Kamu bohong, La. Ibu tahu sepintas melihat Syarif dengan orang tuanya.”
Aku masih tersengguk sengguk. Diam dan membisu. Ini gara-gara ibu yang melarang hubunganku dengan dia. Padahal dia penuh perhatian. Sering terbantu selama aku melaksanakan tugas PR-PR dari sekolah.
Aku malas makan. Tak gairah refresing di Karangsong. Dulu tempat ini menjadi kenangan tersendiri. Bagaimana cintaku bersama dia bersemi. Naik mensusuar bersama di Hutan Mangrov. Berpapah tangan. Masih malu-malu saat itu dan aku bermanjakan diri di hadapannya. Kala itu sempat makan mie bersama walaupun lapar kami pesan mie hanya satu porsi dan dimakan bersama, bargantian sendok terasa romantis serta hilang laparnya.
Kini semua hampa meskipun selama tiga tahun pernah singgah lelaki lain untuk mengisi kehampaan itu. Namun, tetap hambar. Kurasa lelaki pengganti tersebut menyebalkan wataknya. Wajah sih lumayan lebih tampan dari pacarku dulu. Wataknya suka bermain mesra dengan wanita lain. Jadi aku tak kujadikan pacar yang sejati.
“La, makan dulu itu nanti kurang enak kalau sudah tak hangat!” seru ibu.
Aku tetap tak peduli. Makin basah saja jaket yang terguyur air mata. Susah sekali kubendung air mata ini.
“ Pulang ajalah, percuma refresing begini. Mending di rumah aja,” Ibu tak sabar dan akhirnya berkemas pulang.
“Bu aku ingin mandi di pantai mumpung di Karangsong,” sela adikku.
Memang dari rumah adikku ingin mandi di pantai. Sudah direncanakan sebelum liburan. Adikku menangis ingin mandi di pantai. Malah sudah membawa baju renang, bawa handuk. Tinggal renang saja.
“Kakak Laela sih nangis segala padahal yang ngajak duluan Kak Laela.”
Ibu tetap berkemas pulang. Akhirnya semua ikut pulang.
Kulihat pengumuman sipenmaru. Berdebar-debar hatiku diterima atau tidak. Kucari namaku pengumuman di internet. Kucari nomor pesertaku, belum ditemukan. Kucoba sekali lagi dari awal secara scanning, masih belum ditemukan. Kubaca Maulida Laela Tsagita. Ah, aku lemas. Betapa kecewanya aku. Memang ribuan mahasiswa pendaftar. Cepat-cepat aku tutup internet ganti aplikasi yang lain.
Ayahku menyarankan daftar ke perguruan tinggi swasta pada Prodi Akutansi Perbankan. Kuturuti ayahku. Biar aku bisa kerja di bank katanya. Tak apalah di bank juga agar orang tuaku berbunga-bunga.
Kali ini aku berangkat kuliah naik kereta api Cirebon Ekspres ke Bandung. Biar aku berani pulang pergi ke Bandung. Tiket dibawa masuk Stasiun Kereta Api Jatibarang. Kulihat seorang lelaki tak asing bagiku. Dia Syarif. Ya dia Syarif. Kukejar dia agar tidak hilang lagi. Semua barang tak terasa lepas, berserakan. Dia mulai naik kereta duluan ke Jakarta.
“Syarif!” seruku sambil lari mengejar.
Syarif sempat menengok sebentar. Namun, kereta mulai melaju. Wajah syarif lama-kelamaan mulai memudar.
Aku di stop oleh satpam, “Tiketnya, Neng!”
Aku tak hiraukan satpam. Kutrobos pintu masuk. Namun, aku lemas, kereta itu sudah berangkat jauh. Air mataku tak terasa menetes lagi. Ku kembali lagi, kuperlihatkan tiket pada satpam dan aku cari duduk menunggu kereta tujuan Bandung. Sambil menghilangkan pedih ini kubuka Samsung dan coba pacebook cari Syarif bagaimana keadaan dia sekarang. Kubaca kronologisnya dan kubaca statusnya, ada kata:
“Alhamdllah, q dbri anugrah, msk UNJ. Kan q tmpuh hdp baru. Takkan kcewakan orang tua, hrs sukses.”
Ternyata syarif  masuk kuliah di UNJ. Teringat dia cerita dahulu punya kakak di UNJ. Namun, dia dengan siapa tadi naik kereta sambil menuntun seorang wanita. Apa dia pacarnya?. Kucari kronologisnya lagi. Dia sekarang dekat dengan siapa. Kutemukan foto Syarif dengan seorang wanita. Kuklik komentarnya ada kalimat.
Slamat, Nis nd sukses smpe kuliah brsatu lg d Jkt.”
Dijawab Nisa, “Mkc, smg kta sma2 sukses, Ser
Kuklik foto Nisa, muncullah profil Nisa. Dia bernama Khaerun Nisa Al Fitriyani. Dia pernah sekolah di SMAN 1 Jatibarang. Aku termenung dan bungkam. Mungkin Nisa pacar penggantiku selama kujauhi Syarif. Aku tak berkedip-kedip lama. Tisuku basah dan aku tak ingat lagi.
Tiba-tiba kujaga, terbangun ada dua semut beruntun-runtun lewat menapaki tanganku yang di atas lutut. Mereka melintas selalu bersama. Terkadang beradu mulut, tak pernah pisah dari awal lintas sampai lewat tanganku. Bisakah aku akur seperti mereka.
“Priiiit!” satpam peringatkan calon penumpang berhati-hati.
“Kereta Cirebon Ekspres jurusan Bandung tiba. Calon penumpang siap-siap berangkat!”
Kututup hand phone setelah kereta tiba. Kunaik kereta. Kebetulan nomor duduk pas dihadapanku. Ku duduk seorang diri. Aku melamun lagi. Hanya yang muncul wajah Syarif. Apakah aku bisa hidup baru seperti Syarif?. Aku tak bisa menjawab. Entah kapan aku bisa terjawab.