Cinta
yang tak Terjawab
Karya:
s@e
Diriku terhentak
kaget tertumpu pada seorang lelaki yang begitu melekat di hatiku yang telah
menaklukan hatiku yang pertama kali. Kali ini setelah tiga tahun, dia lewat
dengan tiba-tiba. Begitu aku menyesal. Pernah aku bekukan hubunganku dengan dia
hanya sekadar sepele.
Diam-diam dari
keluargaku aku mengejar dia, tetapi hatiku terbendung karena di sampingnya ada
orang tuanya. Ingin aku bicara empat mata dengan dia seperti dulu di tempat
ini. Aku malu ada orang tuanya. Takut aku disalahkan oleh orang tuanya karena
aku duluan yang menjauh darinya. Akan tetapi, kusadari aku takut kehilangan
dia. Aku terdiam sambil menyusup tertutup kerumunan orang banyak. Hatiku tak
sabar dia terburu jauh. Kupaksa beranikan diri kejar dia.
Air mataku
mengalir deras. Aku tak terasa, memang tak bisa dibohongi hatiku makin terjepit
pedih. Tahu-tahu dia sudah masuk mobil pulang bersama keluarga.
“La, kemana kamu
tadi?” tanya ayah.
“Tadi ada teman,
tapi dia sudah pergi,” Sahutku.
“Kenapa matamu
merah, Laela?” celetuk ibuku.
“ Oh, iya bu.
Aku kena debu,” balasku.
Ibu penasaran, “Kok,
malah menangis, La?”
Aku hanya
bungkam, air mata makin deras saja. Kututup mukaku dengan jaketku.
“Teh, ini ada
tisu,” adikku menawarkan jasa.
Langsung saja
kucabut dan kuseka air mata.
“Kamu bohong, La.
Ibu tahu sepintas melihat Syarif dengan orang tuanya.”
Aku masih
tersengguk sengguk. Diam dan membisu. Ini gara-gara ibu yang melarang
hubunganku dengan dia. Padahal dia penuh perhatian. Sering terbantu selama aku
melaksanakan tugas PR-PR dari sekolah.
Aku malas makan.
Tak gairah refresing di Karangsong.
Dulu tempat ini menjadi kenangan tersendiri. Bagaimana cintaku bersama dia
bersemi. Naik mensusuar bersama di Hutan Mangrov.
Berpapah tangan. Masih malu-malu saat itu dan aku bermanjakan diri di
hadapannya. Kala itu sempat makan mie bersama walaupun lapar kami pesan mie
hanya satu porsi dan dimakan bersama, bargantian sendok terasa romantis serta
hilang laparnya.
Kini semua hampa
meskipun selama tiga tahun pernah singgah lelaki lain untuk mengisi kehampaan
itu. Namun, tetap hambar. Kurasa lelaki pengganti tersebut menyebalkan
wataknya. Wajah sih lumayan lebih tampan dari pacarku dulu. Wataknya suka
bermain mesra dengan wanita lain. Jadi aku tak kujadikan pacar yang sejati.
“La, makan dulu
itu nanti kurang enak kalau sudah tak hangat!” seru ibu.
Aku tetap tak
peduli. Makin basah saja jaket yang terguyur air mata. Susah sekali kubendung
air mata ini.
“ Pulang ajalah,
percuma refresing begini. Mending di rumah aja,” Ibu tak sabar dan
akhirnya berkemas pulang.
“Bu aku ingin
mandi di pantai mumpung di Karangsong,” sela adikku.
Memang dari
rumah adikku ingin mandi di pantai. Sudah direncanakan sebelum liburan. Adikku
menangis ingin mandi di pantai. Malah sudah membawa baju renang, bawa handuk.
Tinggal renang saja.
“Kakak Laela sih
nangis segala padahal yang ngajak duluan Kak Laela.”
Ibu tetap
berkemas pulang. Akhirnya semua ikut pulang.
Kulihat
pengumuman sipenmaru. Berdebar-debar hatiku
diterima atau tidak. Kucari namaku pengumuman di internet. Kucari nomor
pesertaku, belum ditemukan. Kucoba sekali lagi dari awal secara scanning, masih belum ditemukan. Kubaca Maulida Laela Tsagita. Ah, aku lemas. Betapa
kecewanya aku. Memang ribuan mahasiswa pendaftar. Cepat-cepat aku tutup
internet ganti aplikasi yang lain.
Ayahku
menyarankan daftar ke perguruan tinggi swasta pada Prodi Akutansi Perbankan.
Kuturuti ayahku. Biar aku bisa kerja di bank katanya. Tak apalah di bank juga
agar orang tuaku berbunga-bunga.
Kali ini aku
berangkat kuliah naik kereta api Cirebon Ekspres ke Bandung. Biar aku berani
pulang pergi ke Bandung. Tiket dibawa masuk Stasiun Kereta Api Jatibarang.
Kulihat seorang lelaki tak asing bagiku. Dia Syarif. Ya dia Syarif. Kukejar dia
agar tidak hilang lagi. Semua barang tak terasa lepas, berserakan. Dia mulai
naik kereta duluan ke Jakarta.
“Syarif!” seruku
sambil lari mengejar.
Syarif sempat menengok
sebentar. Namun, kereta mulai melaju. Wajah syarif lama-kelamaan mulai memudar.
Aku di stop oleh
satpam, “Tiketnya, Neng!”
Aku tak hiraukan
satpam. Kutrobos pintu masuk. Namun, aku lemas, kereta itu sudah berangkat
jauh. Air mataku tak terasa menetes lagi. Ku kembali lagi, kuperlihatkan tiket
pada satpam dan aku cari duduk menunggu kereta tujuan Bandung. Sambil menghilangkan
pedih ini kubuka Samsung dan coba pacebook cari Syarif bagaimana keadaan
dia sekarang. Kubaca kronologisnya dan kubaca statusnya, ada kata:
“Alhamdllah, q
dbri anugrah, msk UNJ. Kan q tmpuh hdp baru. Takkan kcewakan orang tua, hrs
sukses.”
Ternyata
syarif masuk kuliah di UNJ. Teringat dia
cerita dahulu punya kakak di UNJ. Namun, dia dengan siapa tadi naik kereta
sambil menuntun seorang wanita. Apa dia pacarnya?. Kucari kronologisnya lagi.
Dia sekarang dekat dengan siapa. Kutemukan foto Syarif dengan seorang wanita.
Kuklik komentarnya ada kalimat.
“Slamat, Nis nd sukses smpe kuliah brsatu lg
d Jkt.”
Dijawab Nisa, “Mkc, smg kta sma2 sukses, Ser”
Kuklik foto Nisa, muncullah profil Nisa.
Dia bernama Khaerun Nisa Al Fitriyani.
Dia pernah sekolah di SMAN 1 Jatibarang. Aku termenung dan bungkam. Mungkin
Nisa pacar penggantiku selama kujauhi Syarif. Aku tak berkedip-kedip lama. Tisuku
basah dan aku tak ingat lagi.
Tiba-tiba
kujaga, terbangun ada dua semut beruntun-runtun lewat menapaki tanganku yang di
atas lutut. Mereka melintas selalu bersama. Terkadang beradu mulut, tak pernah
pisah dari awal lintas sampai lewat tanganku. Bisakah aku akur seperti mereka.
“Priiiit!”
satpam peringatkan calon penumpang berhati-hati.
“Kereta Cirebon Ekspres jurusan Bandung tiba.
Calon penumpang siap-siap berangkat!”
Kututup hand phone setelah kereta tiba. Kunaik
kereta. Kebetulan nomor duduk pas dihadapanku. Ku duduk seorang diri. Aku
melamun lagi. Hanya yang muncul wajah Syarif. Apakah aku bisa hidup baru
seperti Syarif?. Aku tak bisa
menjawab. Entah kapan aku bisa terjawab.